Dalam membangun tempat tinggal, dalam kepercayaan masyarakat Bali ada yang disebut dengan karang panes. Karang panes merupakan tempat yang dianggap kurang baik untuk ditempati. ada beberapa lontar yang memuat tentang baik-buruknya tata letak dan bentuk pekarangan atau tanah untuk tempat tinggal atau perumahan yaitu tutur bhagawan wiswakarma, bhamakretti, japakala dan asta bhumi.
Pekarangan yang baik
1. Mambu lalah-sihing kanti, tanah yang berbau pedas, amat baik dipakai mendirikan umah dan dapat menyebabkan kebahagiaan bagi orang yang menempatinya.
2. Asah madya yang letaknya datar, baik untuk tempat membangun umah.
3. Tanah manemu labha yang bagian baratnya lebih tinggi atau memiliki keadaan miring ke timur, sangat baik lantaran bahyak memperoleh sinar matahari pagi.
4. Palemahan wreddhi putra atau paribhoga wreddhi, tanah yang tinggi di selatan (kelod), yang letaknya miring turun ke utara (kaja). Tempat seperti ini baik untuk perumahan.
5. Palemahan inang-Dewa ngukuhi, tempat yang memberikan rasa nyaman dan asri jika dimasuki, selain sangat baik untuk tempat membangun rumah, juga memberi pengaruh: banyak rezeki dan berumur panjang.
Sedangkan pekarangan yang harus dihindari atau dalam bahasa Bali sering disebut dengan “Karang Panes” biasanya ditandai dengan adanya kejadian/musibah yang menimpa anggota keluarga, misal: sering sakit, marah-marah tidak karuan, mengalami kebingungan(linglung), mudah bertengkar dan lain-lain.
1. karang kala rahu/boros wong, adalah karang paumahan yang punya dua pintu masuk atau lebih,
2. kuta kabanda, karang paumahan yang diapit dua jalan raya,
3. karang kalingkuhan, pekarangan rumah yang dikelilingi tanah atau rumah milik dari satu orang,
4. karang numbak rurung atau karang kerubuhan, pekarangan yang berhadapan, berpapasan dengan pertigaan/perempatan jalan,
5. karang nanggu, pekarangan rumah yang berada paling pojok dan di depannya tidak ada rumah lagi,
6. sandang lawe, karang yang punya pintu masuk/angkul-angkul berpapasan dengan pintu masuk rumah yang ada di seberang jalan,
7. karang kapurwan, tanahnya tinggi di bagian timur,
8. kalingkuhin rurung atau sula nyupi, pekarangan yang dilingkari jalan raya,
9. teledu nginyah, jika karang rumah dikitari jalan melingkar di sekelilingnya,
10. karang panes atau gerah, berada di hulu, dekat pura Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan atau Dang Kahyangan,
11. manyeleking, pekarangan yang di dalamnya ada dua jenis tempat merajan/sanggah dari dua jenis keluarga yang berbeda,
12. karang mambu bengu alid, panes mlekpek, ocem, mawarni ireng, adalah pekarangan yang tanahnya berbau busuk, amis, kotor, berwarna hitam,
13, suduk angga, pekarangan rumah yang posisinya tertusuk (katumbak) jalan, gang, got dan tembok panyengker tanah orang lain, dan
14. karang kabaya-baya.
Pekarangan yang khusus disebut karang kabaya-baya ini memiliki ciri-ciri seperti:
1. nemu baya (mendapat bahaya),
2. toya baya (ada darah yang tiba-tiba muncul di pekarangan rumah),
3. lulut baya (ada banyak ulat yang muncul),
4. tenget (bekas kuburan, bekas sanggah/pura),
5. kalebon amuk (bekas tempat terjadinya pertumpahan darah),
6. bhuta salah wetu (babi beranak seekor, pohon pisang berbuah pada batangnya, pohon kelapa bercabang),
7. wong baya (tumbuh cendawan pada halaman pekarangan),
8. bumi sayongan atau panca baya (pekarangan yang ditimpa petir, tiba-tiba muncul asap, dihuni tawon atau lebah yang berdiam lama hingga beranak pinak).
Jika orang menemukan tanah yang kurang baik sebagaimana disebutkan di atas, beragam ritual (upacara) menurut agama Hindu bisa dilakukan untuk menangkal timbulnya pengaruh buruk itu, disebut dengan upacara pangupah ayu. Jadi berbagai upaya untuk terwujudnya keseimbangan dan keselarasan secara lahir (fisik) maupun batin (nonfisik) bisa dilakukan dengan mencermati kondisi yang ada dan mengangkat kearifan lokalnya.
hal-hal yang lebih jelas sebagai berikut:
1. Dewa ngukuhi, tanah atau pekarangan yang dapat memberi rasa damai dan tentram. Jika di sekeliling tak ada tanah yang lebih tinggi sebagai penyandingnya, tanah itu dinamakan asah madya. Hal lain, ada letak tanah yang dianggap tak baik, seperti disebut dengan sandang lawe atau karang negen, yakni tanah yang letaknya tepat berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan atau gang, dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa (garis keturunan ayah/laki-laki).
2. Karang suduk angga, tanah atau pekarangan yang letak atau posisinya tertusuk (katumbak) jalan, gang, sungai, got dan tembok panyengker tanah orang lain. Tanah ini tidak baik untuk tempat tinggal, disebut karang panes atau nyakitin. Konon orang yang menempati atau menghuninya akan kerap kena bencana, acap bertengkar lantaran hal-hal sepele, sering kecurian, kena fitnah, diganggu mahluk halus.
3. Tanah yang berada pada sudut pertigaan jalan/gang, atau setengah dari sisi tanah pekarangannya dilingkari oleh jalan, gang, got atau sungai, disebut karang sulanupi. Jika tanah itu diapit atau dikelilingi jalan raya, gang atau got dinamakan karang kuta kubhanda. Ada pula karang teledu nginyah, bila rumah dikitari oleh jalan melingkar di sekelilingnya. Karang grah, andai pekarangan itu bersebelahan dengan Pura Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Lainnya, karang tan maren mahyus grah, menunjuk pada tanah yang serasa panas atau pengap lantaran tidak ada udara segar.
4. Manyeleking, apabila dalam satu halaman ada beberapa rumah KK (kepala keluarga) yang kawitan-nya berbeda. Jika tanah tempat dibangun rumah itu berseberangan jalan dengan rumah saudara kandung, termasuk tanah yang tak baik pula, disebut amada-mada Bhatara. Begitulah apa yang tersirat dan tersurat, sebagai bagian dari tata cara menata letak tanah dan bangunan.
5. Karang Matalompong, kenyataan di lapangan karena adanya hubungan kekeluargaan yang erat, entah karena berhubungan dengan karang tua, hubungan waris dan sebagainya, pernah ada satu karang yang sudah memiliki sanggah kemulan dan tunggun karang dihubungan oleh sebuah pintu kecil dengan karang lainnya. Banyak yang mempercayai karang seperti ini dapat mendatangkan wabah dan musibah lainnya, khususnya bagi penghuni karang yang memiliki ketinggian natah lebih rendah.
6. Cracapan Ulung Kapisaga, air cucuran atap tetangga jatuh ke pekarangan kita disebutkan dapat memanes dan mengakibatkan hal-hal buruk bagi penghuni karang kedua belah pihak. Ada pula sumber-sumber yang menyebutkan bahwa Cracapan Ulung Kapisaga adalah simbolik sulub kasulubin yang bermakna eratnya senasib sepenanggungan.
7. Obag-obag mapas Surya, jika diperhatikan dengan seksama, hampir sebagian besar obag-obag (pamesuan) pekarangan di Bugbug diupayakan sedemikian rupa agar menghadap ke arah utara atau selatan. Bagi mereka yang mempercayainya sangat dipantangkan untuk membuat pamesuan pekarangan menghadap ke timur maupun ke barat. Entah mengapa mereka menganggap pekarangan seperti inipun dianggapnya memanes.
8. Karang Tumbak Rurung, dalam istilah arsitektur Bali dikenal adanya karang Tumbak Rurung, yang banyak diyakini dapat berpengaruh buruk terhadap penghuninya. Sehingga sebagai penudannya, didirikanlah sebuah pelinggih pada posisi yang ditumbak oleh rurung guna dapat mengeliminasi dampak negatif keberadaan posisi pekarangan seperti ini.
9. Pekarangan rumah yang ngulonin (terletak di bagian hulu) banjar atau pura memang termasuk pekarangan yang dianggap kurang baik untuk ditempati. “Penghuninya sering terkena musibah, sakit-sakitan, sering terjadi perselisihan yang menimbulkan terjadinya pertengkaran antar sesama penghuni. Namun, kondisi tersebut bisa dinetralisir dengan jalan memundurkan tembok panyengker (pembatas) rumah. Antara tembok banjar atau pura dengan tembok rumah dibuatkan gang kecil (rurung gantung). Sementara di luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih (bangunan suci) berbentuk padmacapah dan di tanah pekarangan dibuatkan upacara pemahayu pekarangan (pecaruan karang tenget/angker).
10. Karang katumbak (tertusuk) jalan atau gang. Orang juga sering menyebut dengan istilah tusuk sate. Posisi tanah katumbak jalan atau gang ini, dalam keyakinan orang Bali, tidak baik dihuni karena bisa menyebabkan bahaya, kesusahan dan sakit-sakitan. Hal ini juga berlaku untuk rumah yang posisinya tertusuk sungai (tumbak tukad).
11. Pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan karang negen. Menurut IB Putra Manik Aryana dalam buku Indik Karang Panes, yang dimaksud karang negen yakni dua pekarangan rumah milik satu orang yang letaknya berhadap-hadapan dipisahkan jalan. Mirip dengan karang negen, ada juga karang sandanglawang yakni pekarangan rumah orang yang bersaudara (kakak-adik) yang posisinya berhadap-hadapan, hanya dibatasi jalan/gang. Penghuni kedua jenis karang itu dipercaya akan mengalami kesusahan, sakit-sakitan, sering terlibat pertengkaran.
apabila memang terpaksa menempati atau menghuni karang panes dapat meruwatnya dimana dalam mengetahui karang panes dan untuk menetralkannya secara niskala disebutkan baik dalam lontar wismakarma dan lontar bhamakertih agar tanah tersebut dapat memberikan rasa damai dan tentram, banyak rezeki dan panjang umur yaitu disebutkan antara lain :
- Karang Tumbak Rurung, didirikan sebuah pelinggih pada posisi yang ditumbak oleh rurung guna dapat mengeliminasi dampak negatif keberadaan posisi pekarangan.
- Pekarangan rumah yang ngulonin (terletak di bagian hulu) banjar atau pura bisa dinetralisir dengan jalan memundurkan tembok panyengker (pembatas) rumah.
- Antara tembok banjar atau pura dengan tembok rumah dibuatkan gang kecil (rurung gantung).
- Sementara di luar tembok pekarangan agar dibangun pelinggih (bangunan suci) berbentuk padma capah dan di tanah pekarangan dibuatkan upacara pemahayu pekarangan (pecaruan karang tenget/angker).
- Segala yang disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut membangun palinggih berupa Padma capah, sthana Sang Hyang Indra Blaka.
- Apabila tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya menemukan sakit bermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra Blaka telah berubah dari Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian dinyatakan.
A. CARU NGEMATIANG SEMER Caru mematikan/menimbun sumur: Banten untuk upacara menimbunnya terdiri dari: sebuah Daksina dan nasi wong-wongan hitam ulam kakul/sipvit, Banten Perasnya memakai tumpeng hitam ulamnya pencok kacang, seekor ayam berbulu hitam dipanggang dan biji padi dibungkus dengan tapis, 1 buah kwangen,
B. KARANG PANES
Segala yang
disebut Pamanes Pekarangan, seperti: Kemasukan gelap, dan terbakar, patut
membangun palinggih berupa Padma rendah, sthana Sang Hyang Indra Blaka. Apabila
tidak membangun sthana untuk Sang Hyang Indra Blaka, tidak putus-putusnya
menemukan sakitbermacam-macam, walaupun hingga sepuluh kali telah macaru, tak
akan bisa selesai oleh caru itu, karena Beliau Sang Hyang Indra telah berubah
menjadi Sang Hyang Indra Blaka, menjadi Kala Maya, menjadi Kala Desti, demikian
dinyatakan. Dan apabila ada pekarangan berpapasan dengan gang atau jalan
kecil, jalan, berpapasan dengan sungai, bersebelahan dengan jalan, perempatan
jalan, bersebelahan dengan Pura, bersebelahan dengan Bale Banjar, seperti di
hulu Bale Banjar, panas pekarangan itu. Dan apabila ada sayongan pada
pekarangan disertai dengan suara gemuruh dari langit ciri panas bumi itu.
Apabila pada pekarangan muncul kukus, ciri panas pekarangan itu.
Apabila ada Sanggah
roboh, danjineng/tempai menyimpan padi, dapur roboh tanpa penyebab, dan
kedatangan orang berkelahi, terlaksana sebagai tempat perkelahian, Panca Bhaya,
disebutkan panas pekarangan itu.
Menurut
Lontar “Kaputusan Sanghyang Anala” lokasi yang termasuk “karang panes” tersebut
bisa “diteduh” dengan upacara pecaruan. Dalam hal ini caru yang sesuai adalah
jenis caru Rsi Gana. Setiap 5 tahun pecaruan itu diulang-ulang lagi,
seterusnya.
demikian semoga
bermanfaat. mari jaga rumah/wewidangan kita selayaknya menjaga diri kita
sendiri
LOKA SAMASTHA SUKINO
BHAWANTU
OM SHANTI SHANTI SHANTI OM
by Kadek Surya Darmawan, S.Pd.
Comments
Post a Comment